Bismillah…

Ada dua keadaan menguburkan ibu hamil bersama janin dalam kandungannya :

[1] yakin janin masih hidup dan bisa diselamatkan.

Jika demikian keadaannya, wajib diselamatkan, meski harus dengan melakukan operasi sesar.

Para ulama menjelaskan, bahwa mencederai tubuh mayit (tamtsil) hukumnya haram, kecuali jika karena alasan maslahat yang kuat dan yakin, bukan yang sifatnya praduga. Saat melakukan operasi sesar, tentu terdapat unsur tamtsil tersebut. Namun, ini boleh dilakukan karena :

– adanya motivasi maslahat yang yakin.

– Pertimbangan lain, jika ada dua kerusakan bertemu dalam satu keadaan, maka boleh memilih kerusakan yang lebih ringan demi menghindari kerusakan yang lebih besar. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah kaidah fikih,

الضرر الأشد، يزال بالضرر الأخف.

Kerusakan yang besar, harus dihilangkan meski dengan menerjang kerusakan yang lebih kecil.

Membedah perut Ibu yang sudah meninggal tentu itu kerusakan. Namun membiarkan sang bayi meninggal dalam perut ibu, tentu itu kerusakan lebih besar. Sehingga, selama keselamatan bayi didasari informasi yang meyakinkan; yang saat ini alhamdulillah bisa diupayakan melalui ilmu kedokteran modern, maka boleh membedah perut sang Ibu demi keselamatan hidup si bayi.

[2] yakin janin telah meninggal dalam kandungan.

Maka boleh menguburkan janin bersama ibunya. Tidak perlu melakukan upaya pengeluaran bayi dari kandungan/sesar. Karena membedah perut ibu yang sudah meninggal, adalah tamtsil yang diharamkan oleh syariat, kecuali untuk mewujudkan masalahat yakin yang bisa diupayakan.

Sebagaimana diterangkan oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di (penulis kitab Tafsir Taisir Kariim Ar-Rahman)

والأصل تحريم التمثيل بالميت، إلا إذا عارض ذلك مصلحة قوية متحققة

Pada dasarnya, haram melakukan tamtsil pada mayit, kecuali untuk tujuan manfaat yang kuat dan pasti. (Al-Fatawa As-Sa’diyah, hal. 189)

Saat bayi telah meninggal di dalam kandungan, maka tidak ada celah manfaat yakin yang wajib kita perjuangkan. Sehingga tamtsil dalam kondisi ini, kembali kepada hukum asalnya, yaitu haram. Tidak perlu mengeluarkan bayi dari kandungan. Cukup dimakamkan bersama Ibundanya.

Alasan lain, kaidah fikih mengatakan,

الضرورات تقدر بقدرها

Kondisi darurat itu ditakar sesuai kadar kedaruratannya.

Artinya, solusi dari kondisi darurat berupa menerjang yang terlarang, itu boleh dilakukan sebatas kadar hilangnya darurat. Tidak boleh melebihi kadar. Terlebih jika darurat itu tidak ada, maka tidak boleh melakukan hal yang terlarang itu.

Adapun soal pengurusan jenazah ; sholat, kafan, pemandian, sudah terwakili oleh Ibunya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah memfatwakan,

تدفن إذا ماتت وهي حبلى، تدفن بحملها، وليس هناك حاجة إلى عملية لإخراج الجنين، ولأنه في الغالب إذا ماتت مات معها أيضاً، ولو قدر أنه بقي شيء يسير

Ibu hamil yang meninggal, dikuburkan bersama janin dalam perutnya. Tidak perlu dilakukan operasi sesar. Karena biasanya jika ibunya meninggal, maka janin dalam kandungannya juga ikut meninggal. Walaupun bisa di keluarkan, itu biasanya hanya bertahan hidup sebentar. (https://binbaz.org.sa)

Penjelasan Syekh Abdulaziz bin Baz di atas bisa kita pahami :

tidak mengapa mengubur janin dalam kandungan bersama ibunya. Beliau beralasan tidak perlu dilakukan operasi sesar, apapun kondisi janin, karena berdasarkan kebiasaan janin dalam kandungan akan meninggal bersama ibunya.

Namun dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini, kondisi bayi dalam kandungan ibunya yang meninggal, bisa diperkirakan kemungkinan bisa diselamatkan atau tidaknya. Sehingga jika upaya ini mungkin kita lakukan, maka wajib ditempuh, berdasarkan kaidah fikih yang dijelaskan di atas. Jika tidak, maka tidak mengapa insyaAllah.

Allah berfirman,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286)

Wallahua’lam bis showab

***


Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here