Biasa Hidup di Jalan Sebagai Musafir, Boleh Tidak Puasa?
Teruntuk para sopir bus AKAP, truk, para nahkoda, pilot, masinis serta pengemudi moda transportasi lainnya. Demikian untuk saudara-saudara kami lainnya yang kesehariannya sebagai musafir.
Bolehkan tidak puasa?
Mengingat safar adalah salahsatu uzur yang membolehkan tidak puasa. Namun di lain hal, sehari-hari hidup di perjalanan sebagai musafir. Sehingga antara berpuasa dan tidak puasa sama saja ringannya, tidak lagi menyusahkan. Karena safar sudah menjadi kebiasaan.
Bismillah, mari bersama kita pelajari di sini…
Pertama, benar bahwa safar adalah diantara keadaan seorang layak mendapatkan keringanan (rukhsoh) tidak puasa. Dalilnya adalah surat Al-Baqarah 185,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Siapa sakit atau sedang safar (dia tidak puasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.
Pada ayat ini, tidak dibatasi bahwa safar yang menjadi uzur hanya safar yang jarang saja, bukan untuk mereka yang sering safar atau kesehariannya sebagai musafir. Ini menunjukkan bahwa keringanan tidak melakukan puasa berlaku pada musafir secara umum. Baik yang jarang maupun sering.
Kedua, kesimpulan di atas, diambil dari surat Al-Baqarah ayat 183 melalui kaidah ushul fikih yang berbunyi,
الحكم يدور مع علته وجودا و عدما
Ada dan tidak adanya hukum, mengikuti ada dan tidak adanya ‘illah (*alasan /sifat yang mendasari terbentuknya hukum).
Artinya, selama ada ‘illah, maka hukumpun ada. Selama illah tidak ada, maka hukum juga tidak ada.
Lantas apa gerangan illah bolehnya tidak puasa bagi musafir?
Alhamdulillah illahnya telah disinggung pada ayat di atas. Yaitu tepatnya pada kalimat,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Melalui potongan ayat ini para ulama dapat membaca illah untuk hukum kebolehan tidak puasa bagi musafir, mereka menyebut illah tersebut dengan,
السفر مظنة المشقة
Safar berpotensi memunculkan kesukaran. (Lihat : Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 3810)
Artinya, safar yang menjadi sebab adanya rukhsoh boleh tidak puasa, tidak harus safar yang menyusahkan. Namun, segala macam safar apapun kondisinya baik dirasa susah ataupun tidak, selama jarak yang ditempuh masuk ke dalam kategori safar, maka seorang berhak mendapatkan rukhsoh tersebut. Selama sebuah perjalanan itu dipandang safar oleh Islam, maka berpotensi memunculkan kesukaran. Sehingga berhak mendapatkan rukhsoh.
Ketiga, mengingat illah pada rukhsoh boleh tidak puasa, sifatnya dugaan/prediksi (dzon), bukan illah yang pasti, naka para ulama ushul fikih telah memyimpulkan sebuah kaidah berkaitan illah yang sifatnya prediksi,
المعلل بالمظان لا يتخلف بتخلف حكمته
Hukum yang disimpulkan melalui Illah yang sifatnya prediksi (mu’allal bil madzon), tidaklah berubah karena berubahnya hikmah hukum.
Keempat, contoh penerapan kaidah di point ketiga di atas, pernah dipaparkan oleh Syaikh Dr. Abdurrahman As-Sudais (Imam besar masjidil Haram dan ketua dua masjid suci), di dalam tesis beliau,
كمن كان منزله على البحر وقطع مسافة القصر في لحظة في سفينة فانه يباح له قصر الصلاة والفطر في رمضان بسفره, هذا الذي لا مشقة فيه لأن الحكم الذي هو الرخصة علق بمظنة المشقة في الغالب, وهو سفر أربعة برد مثلا, والمعلل بالمظان لاتتخلف أحكامه بتخلف حكمها في بعض الصور
“Orang yang rumahnya di laut. Untuk menuju rumahnya, dia menempuh perjalanan (safar) dalam waktu tempuh yang tidak lama menggunakan kapal. Maka dia boleh menqosor dan tidak puasa di bulan ramadhan. Disebabkan safarnya tersebut.
Padahal orang ini tentu tidak merasakan kesukaran. Namun dia tetap mendapatkan keringanan (rukhsoh). Karena rukhsoh di sini berkaitan dengan keadaan yang pada umumnya diprediksikan muncul kesukaran (mu’allal bil madzon), yaitu safar dengan jarak tempuh empat burud (± 89,6 km)
misalnya. Sementara hukum dari hasil produk illah yang sifatnya prediksi, tidaklah berubah karena perubahan hikmahnya di kasus yang lain. (Manhajus Syaikh As-Syinqiti fi tafsir ayat Al-Ahkam, 1/318)
* Potensi muncul kesukaran, adalah illahnya.
* Boleh meng-qhasar sholat dan tidak puasa, adalah hukumnya.
* Merasakan ringan atau susah saat safar, adalah hikmah hukumnya.
Kaidahnya berbunyi :
Hukum yang disimpulkan melalui Illah yang sifatnya prediksi (mu’allal bil madzon), tidaklah berubah karena berubahnya hikmah hukum.
Hukum = boleh tidak puasa dan meng-qhasar sholat.
yang disimpulkan melalui Illah yang sifatnya prediksi (mu’allal bil madzon) = Potensi muncul kesukaran
tidaklah berubah, karena berubahnya hikmah hukum = Merasakan ringan atau susah saat safar.
Jadi seorang merasa ringan atau kesusahan saat safar, tidak bisa mengubah hukum, yaitu bolehnya tidak puasa.
Contoh lain untuk kaidah di atas :
Seorang muhrim (orang yang memakai pakaian ihram) yang kehilangan indra penciuman, maka saat memakai minyak wangi, tetap wajib membayar fidyah karena memakai minyak wangi termasuk larangan ihram. Walaupun dia tidak dapat mencium wanginya minyak wangi tersebut. Ia tetap dihukumi melanggar larangan ihram.
Kelima, tiga paparan di atas itulah kronologis kesimpulan hukum para ulama, saat dimintai fatwa tentang orang yang kesehariannya sebagai musafir apa boleh tidak pusa? Mereka menfatwakan boleh. Salah satunya, fatwa Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah berikut,
أما بالنسبة لهؤلاء السائقين الذين يقضون حياتهم في السفر فالصواب أنه لا حرج ولو كان السفر مهنة له ، فصاحب السيارة الدائم ـ التاكسي أو غيره ـ مثل صاحب الجمل الدائم في الوقت السابق ، له الفطر وإن كان دائم السفر ، لكن إذا جاء إلى بلده صام وأمسك ، أما في حال أسفاره وتنقلاته من بلد إلى بلد له الإفطار ولو كانت هذه مهنته ” انتهى .
“Para sopir yang kesehariannya berada di jalan, yang tepat dia boleh tidak puasa dan boleh menqhasar/menjamak sholat, meski safar itu sudah menjadi bagian dari pekerjaannya sehari-hari.
Jadi sopir mobil yang hidupnya di jalan seperti sopir taksi atau lainnya, seperti penunggang onta yang hidupnya di jalan pada zaman dulu, boleh tidak puasa. Meskipun safarnya sering. Akan tetapi bila sudah tiba di tempat tinggalnya dia kembali puasa dan menahan diri (di sisa hari). Adapun saat dia sedang safar, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, dia boleh tidak puasa, meski safar itu sudah menjadi pekerjaan kesehariannya.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb 3/1230)
Wallahua’lam bis shawab.
*Artikel ini pernah tayang di KonsultasiSyariah.com dengan judul “Sopir Bus dan Truk Boleh Tidak Puasa?”
Hamalatul Quran Yogyakarta, 23 Ramadhan 1441 H
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Artikel : TheHumairo.com
***