Dakwah Pasang Tarif, Bagaimana Ini?

Bismillahirrahmanirrahim

Ada dua hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang bersinggungan dengan masalah ini :

Pertama, hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.

Nabi ﷺ dalam hadits yang shahih diriwayatkan oleh , Rasulullah ﷺ bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa orang yang mempelajari satu ilmu dari ilmu-ilmu yang mesti dipelajari karena Allah azza wajalla seperti ilmu syar’i tetapi dia tidak mempelajari ilmu itu kecuali hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi maka dia tidak akan bisa mencium baunya surga pada hari kiamat” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh Al Albani)

Kedua, hadis dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma.

Nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda,

إنَّ أحقَّ ما أخذتُم عليه أجرًا كتابُ اللهِ

Sesungguhnya upah yang paling berhak anda dapatkan adalah upah dari mengajarkan Al-Qur’an.” (HR. Az-Zarqani, dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al-Jami’)

Syaikh Abdul Karim Al-Khudoir (ulama senior Saudi Arabia) menerangkan makna hadis ini,

فإذا جاز هذا في القرآن ففي غيره من باب أولى.

“Jika mengambil upah dari mengajar Al Qur’an dibolehkan, maka mengambil upah dari mengajar ilmu yang lain, itu lebih dibolehkan.”
(Sumber b: https://shkhudheir.com/fatawa/1333659048)

Dua hadis di atas tampak berbeda, yang satu tampak melarang mendapatkan upah dari mengajar ilmu agama atau berdakwah, hadis satunya tampak membolehkan. Bagaimana cara memahami kedua hadis ini?

Kedua hadis ini selama bisa dikompromikan (Al-Jam’u) maka itulah solusi pertama memahami yang tampak bertentangan. Karena medote mengkompromikan hadis-hadis; sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, adalah metode pertama yang harus ditempuh ketika mendapati hadis yang tampak bertentangan. Disebutkan di dalam kaidah,

الجمع أولى من الترجيح

“Mengkompromikan dalil itu lebih utama daripada memilih salahsatunya.”

Cara mengkompromikan kedua hadis tersebut adalah :

Hadis yang menerangkan larangan (Abu Hurairah), berlaku pada dai yang menjadikan uang atau imbalan duniawi sebagai niat utamanya. Adapun hadis yang membolehkan upah (hadis Abdullah bin Abbas) berlaku pada dai yang tidak menjadikan dunia/upah sebagai niat utamanya. Niat pokoknya tetap karena berharap pahala atau surga Allah, namun ia tetap diberi upah.

Kesimpulan ini sebagaimana keterangan dari Al-Mubarokfuri di dalam Syarah Mirqotul Mafatih saat menerangkan hadis Abu Hurairah di atas, beliau mengatakan,

أي لا يتعلمه لغرض من الأغراض إلا ليصيب به شيئا من متمتعات الدنيا، وفيه دلالة على أن الوعيد المذكور لمن لا يقصد بالعلم إلا الدنيا، وأما من طلب بعلمه رضا المولى ومع ذلك له ميل ما إلى عرض الدنيا فخارج عن هذا الوعيد، فابتغاء وجه الله يأبى إلا أن يكون متبوعا ويكون العرض تابعا.

Tidak akan bisa mencium baunya surga pada hari kiamat“, maksudnya untuk orang-orang yang belajar agama hanya untuk mencari kenikmatan dunia. Hadis ini menunjukkan bahwa ancaman tersebut berlaku pada orang yang tidak menjadikan tujuan ilmunya kecuali fasilitas duniawi saja. Adapun seorang yang mencari ilmu untuk mendapatkan ridho Allah, namun disertai niat mencari dunia, orang seperti ini tidak terkena ancaman pada hadis tersebut. Sehingga mencari ridho Allah adalah niat utamanya dan mencari dunia sebagai niat pengikut.” (Mirqotul Mafaatih Syarah Miftah Al Mashobih, 1/326)

Apa Mungkin Bisa Ikhlas Jika Tetap Menerima Amplop?

Antara menerima amplop dengan tidak, sebenarnya tidak berkaitan dengan ikhlas dan tidak ikhlas. Karena ikhlas ini soal niat di dalam hati, selama niat dakwahnya adalah karena Allah, maka itulah ikhlas. Baik ia menerima amplop ataupun tidak. Seorang masih bisa saja tidak ikhlas melalui menerima amplop; dengan menjadikan amplop tujuan utamanya, dan dengan tidak menerima amplop, dengan riya’ kepada orang-orang mengesankan bahwa dirinya adalah orang yang ikhlas.

Syaikh Abdul Karim Al-Khudoir hafidzohullah pernah menjawab pertanyaan di atas, beliau menjelaskan,

أي نعم، يمكن الإخلاص مع أخذ الأجرة، وهذا لا ينافي هذا، نعم ترك الأجرة أدعى إلى الإخلاص وأقرب، ومع ذلك قد يكون أشد في عدم الإخلاص من أخذ الأجرة لا سيما إذا كان يظهر للناس أنه يُعلم الناس مجانًا حسبة لله -جل وعلا- يتحدث بذلك في المجالس، فالذي يأخذ الأجرة أفضل منه وأقرب إلى الإخلاص منه، فأخذ الأجرة لا ينافي الإخلاص.

“Oh iya mungkin saja untuk ikhlas meskipun ia menerima amplop. Hal ini tidak serta merta menyebabkan tidak ikhlas dalam berdakwah. Iya benar tidak menerima amplop itu lebih memudahkan seorang untuk ikhlas, lebih dekat kepada ikhlas. Namun juga terkadang tidak menerima amplop bisa menyebabkan seorang tidak ikhlas. Terlebih jika ia tampakkan kepada jama’ah supaya orang-orang tahu bahwa dia tidak mau diberi amplop. Dia ceritakan itu di pengajian-pengajian. Pada kondisi seperti itu orang yang menerima amplop lebih afdol dan lebih dekat kepada ikhlas daripada dia. Jadi intinya, menerima amplop tidak serta merta merusak keikhlasan.” (Sumber : https://shkhudheir.com/fatawa/1333659048)

Memasang Tarif Dakwah

Memasang tarif dengan sekedar menerima amplop dua hal yang berbeda :

– Menerima amplop : tidak meminta bayaran dan tidak menafikan keikhlasan. Karena bisa jadi seorang da’i telah mentekadkan niat dakwahnya karena mengharap pahala dari Allah, namun ternyata dia tetap menerima amplop dengan tanpa diminta.

– Adapun memasang tarif dakwah : meminta bayaran. Ini bertentangan dengan keikhlasan. Karena dia sejak awal bahkan sebelum mulai berdakwah, meminta bayaran. Menunjukkan bahwa uang adalah tujuannya di dalam dakwah. Seorang da’i yang mematok tarif ceramah sekian jam, tarifnya sekian, atau tidak mau datang kecuali setelah negosiasi harga ceramah, seperti ini ada indikasi kuat membisniskan dakwah atau menjadikan dunia sebagai tujuan dakwahnya. Dan ini sangat rendah jika dilakukan oleh seorang da’i -semoga Allah melindungi kami dan pembaca sekalian dari sikap seperti ini-.

Allah ta’ala menyingung di dalam Al Qur’an,

ٱتَّبِعُواْ مَن لَّا يَسۡـَٔلُكُمۡ أَجۡرٗا وَهُم مُّهۡتَدُونَ

Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Ya-Sin : 21)

Seorang pernah melapor kepada Imam Ahmad tentang oknum dai di zaman beliau,

إن إمامًا يقول: أصلي بكم رمضان بكذا وكذا درهما

“Ada Imam sholat menyampaikan demikian, “Saya mau jadi imam sholat ramadhan kalian asal tarifnya sekian dirham”

Jawaban Imam Ahmad,

أسأل الله العافية! من يصل خلف هذا؟

“Aku berlindung kepada Allah dari watak seperti itu! Siapa yang mua sholat di belakang orang yang seperti itu?!” (Sumber : Syahrul Kabir, 2/418)

Demikian…

Semoga Allah memberikan pertolongan kepada kita untuk ikhlas di dalam berdakwah, baik melalui lisan, tulisan atau keteladanan.


Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here