Meluruskan Kesalahpahaman Terhadap Fatwa Boikot Prancis

Bismillah

Bisa dikatakan, mayoritas ulama saat ini menyatakan setuju dengan aksi boikot. Di negeri kita, MUI secara resmi telah mengeluarkan fatwa tentang boikot produk Prancis. Dan juga diamini oleh mayoritas Ustadz di tanah air kita.

Namun, setelah tersebarnya fatwa tersebut, berbagai reaksi dari masyarakat bermunculan. Yang kalau kita kerucutkan, maka ada tiga macam reaksi :

1. ghuluw / berlebihan

2. tafrith / menyepelekan.

3, moderat / profesional.

Kita coba bicarakan satu persatu.

Pertama, ghuluw / berlebihan.

Contohnya adalah : video yang beredar luas belum lama ini, tentang aksi pemboikotan sebagian saudara kita dengan membeli barang-barang produk Prancis. Kemudian dibuang atau dibakar begitu saja. Padahal masih layak konsumsi.

Cara boikot yang seperti ini tidak dibenarkan. Karena termasuk tindakan menyia-nyiakan harta yang dilarang Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda,

إنَّ اللَّه تَعَالى يَرضي لَكُمْ ثلاثاً ، وَيَكْرَه لَكُمْ ثَلاثاً : فَيَرضي لَكُمْ أنْ تَعْبُدوه ، وَلا تُشركُوا بِهِ شَيْئاً ، وَأنْ تَعْتَصِموا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعاً وَلا تَفَرَّقُوا ، ويَكْرهُ لَكُمْ : قِيلَ وَقَالَ ، وَكَثْرَةَ السُّؤالِ ، وإضَاعَةَ المَالِ »رواه مسلم ، وتقدَّم شرحه

“Sesungguhnya Allah itu ridha untuk kalian tiga hal dan benci untuk kalian tiga hal pula.

Allah ridha kalian menyembahNya dan tidak menyekutukan sesuatu denganNya, kalian berpegang teguh dengan agama Allah dengan bersama-sama -penuh rasa persatuan- dan kalian tidak bercerai-berai.

Allah benci untuk kalian : katanya dan katanya tanpa ada kepastian dasar kebenaran, juga banyak bertanya tak manfaat dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim no.108)

Bahkan bisa disebut sebagai perbuatan tabdzir (mubazir) yang Allah singgung dalam firman-Nya,

إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا

Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra’ : 27)

Ekspresi kecemburuan kita kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, tentu tidak boleh ternodai oleh tindakan-tindakan yang justeru dibenci oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang sedang kita bela.

Kedua, tafrith / menyepelekan.

Contoh sikapnya adalah, adanya tuduhan bahwa, memboikot produk kafir yang sedang menghina Nabi, sama saja mengharamkan yang Allah halalkan. Bukankah dahulu Nabi shalallahu alaihi wa sallam biasa melakukan transaksi dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Madinah.

Benarkah demikian?

Jawabannya, tidak benar demikian. Boikot tidak indentik dengan pengharaman. Sebagai dalil, dahulu Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu menyuruh rakyatnya agar melaksanakan haji Ifrad dan melarang Tamattu’. Tapi itu tidak di pahami para sahabat sebagai pengharaman. Namun hanya sebagai arahan. Khalifah Utsman bin Affan juga pernah melakukan seperti itu.

Dari Salim bin Abdullah bin Umar, beliau berkata,

إنِّي لَجالسٌ معَ ابنِ عمرَ رضيَ اللَّهُ عنهُ في المسجدِ إذ جاءَهُ رجلٌ من أهلِ الشّامِ، فسألَهُ عنِ التَّمتُّعِ بالعُمرةِ إلى الحجِّ فقالَ ابنُ عمرَ:

“Aku pernah duduk bincang-bincang bersama Ibnu Umar radhiyallahu’anhu di masjid, ketika seorang penduduk Syam mendatangi beliau menanyakan tentang hukum haji Tamattu’. Ibnu Umar menjawab,

حَسنٌ جميلٌ

“Itu bagus..”

فقال : فإنَّ أباكَ كانَ يَنهى عن ذلِكَ،

“Tapi ayah anda pernah melarang haji Tamattu’.” Sangkal lelaki dari negeri Syam itu.

Ibnu Umar menjawab tegas,

فقالَ ويلَكَ ! فإن كانَ أبي قد نَهى عن ذلِكَ، وقَد فعلَهُ رسولُ اللَّهِ ﷺ وأمرَ بهِ، فبِقولِ أبي تأخُذُ أم بأمرِ رسولِ اللَّهِ ﷺ؟ !

“Apa kau bilang! Kalaupun ayahku pernah melarang haji Tamattu’, tapi Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan haji Tamattu’. Anda mau ambil ucapan ayahku atau perintah Rasulullah?!!”

قالَ: بأمرِ رسولِ اللَّهِ ﷺ. فقالَ: فقُم عنِّي

“Tentu saya ikut perintah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.” Jawab orang tersebut.

“Kalau begitu silahkan lakukan.” Tanggap Umar.

(Shifatus Sholah karya Syekh Al-Albani hal. 54, sanadnya Hasan)

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah dijelaskan riwayat di atas,

وأما متعة الحج فقد صح عن عمر أنه نهى عنها، ولكن لم يكن نهي تحريم وإنما أراد أن يختار للناس الأفضل

“Adapun tentang haji Tamattu’, memang benar ada riwayat shahih dari Umar bahwa beliau melarang haji jenis tersebut. Akantetapi, larangan beliau itu bukan bermakna haram. Namun beliau ingin memilihkan jenis haji yang paling afdol untuk masyarakat ketika itu.”

Kemudian tentang kisah Utsman melarang Tamattu’, diceritakan oleh Sa’id bin Al-Musayyab,

حجَّ عليٌّ وعثمانُ فلمّا كنّا ببعضِ الطَّريقِ نَهى عثمانُ عنِ التَّمتُّعِ فقالَ عليٌّ إذا رأيتُموهُ قد ارتَحلَ فارتَحِلوا فلبّى عليٌّ وأصحابُهُ بالعُمرةِ فلم ينْهَهم عثمانُ فقالَ عليٌّ ألَم أُخبَرْ أنَّكَ تَنْهى عنِ التَّمتُّعِ قالَ بلى قالَ لَهُ عليٌّ ألم تَسمع رسولَ اللَّهِ تمتَّعَ قالَ بلى

“Ali dan Utsman pernah hajian bersama. Ketika kami berada di sebuah perjalanan, Utsman melarang haji Tamattu’.

Ali lantas berkata, “Jika kalian melihat beliau telah jalan menuju Makkah untuk haji, maka berjalanlah.”

Ali dan para sahabat beliau bertalbiyah untuk umrah (yakni haji Tamattu’, pent). Dan Utsman tidak melarang Ali dan kawan-kawan beliau yang berhaji Tamattu’.

Ali berkata kepada Utsman, “Benarkah kabar bahwa Anda melarang haji Tamattu’?”

“Iya benar.” jawab Utsman.

“Tidakkah Anda pernah mendengar Rasulullah berhaji Tamattu?” Tanya Ali

Utsman menjawab, “Iya benar.”
(HR. Nasa-i, dinilai Shahih oleh Syekh Al-Albani dalam Shahih An-Nasa-i no. 2732)

Maksudnya adalah, Utsman tidak mengharamkan haji Tamattu’. Namun beliau hanya mengarahkan masyarakat untuk memilih jenis haji yang lain yang lebih afdol. Karena mustahil Utsman mengharamkan sesuatu yang diperintahkan Nabi.

Lihatlah bagaimana fahamnya Ibnu Umar terhadap ucapan ayahnya dan Ali terhadap ucapan Utsman. Mereka memahami seruan keduanya adalah anjuran. Bukan kewajiban atau mengharamkan suatu yang disunahkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

(Paparan di poin ini kami ambil dari Faidah penjelasan Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan, di WhatsApp grup Multaqo Duat Indonesia)

Ketiga, moderat / proposional.

Sikap tengah-tengah dalam menyikapi masalah, adalah hidayah yang sangat mahal. Allah ta’ala menjadikan sikap ini sebagai ciri umat terbaik.

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ

Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar. (QS. Al-Baqarah : 143)

Maka saat anda mendapatkan ilham untuk bisa bersikap proposional atau moderat, maka puji lah Allah, bersyukurlah.

Setelah menelaah dua sikap di atas, maka tampaklah bahwa sikap moderat terhadap kampanye boikot produk Prancis adalah sikap pertengahan antara kubu ghuluw dan kubu tafrith :

1. Tetap menyakini bahwa hukum asal memanfaatkan barang buatan orang kafir, adalah halal. Karena hal tersebut tercakup dalam kaidah fikih,

الأصل في الأشياء الإباحة

“Hukum asal segala sesuatu adalah mubah / boleh dimanfaatkan.”

Nabi shalallahu alaihi wa sallam dahulu juga pernah melakukan transaksi dengan kaum Yahudi.

Kemudian, boikot tidak identik dengan pengharaman, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Aksi boikot, bukan atas dasar haramnya barang. Karena barang yang haram, telah diboikot oleh kaum muslimin jauh hari sebelum terjadi penghinaan kepada Nabi yang mulia Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Boikot dilakukan atas dasar kecemburuan kepada manusia yang paling kita cintai dan hormati. Dan cinta ini, menjadi pondasi iman.

Ibaratnya, saat orangtua anda dihina oleh seorang. Kemudian penghina, jualan sayuran misalnya, apakah sudi anda membeli disitu?! Tentu tidak.

2. Tidak bersikap mubazir.

Tujuan boikot adalah memberi efek jera kepada negeri kafir yang menghina Islam. Efek jera ini tak mungkin dicapai dengan cara yang tidak profesional. Bayangkan saja, anda beli sayur di tempat orang yang menghina orangtua anda. Lalu anda buang sayuran itu, atau dibiarkan busuk. Apakah si penjual sayur merasa dirugikan? Tidak sama sekali.

Pertimbangan lainnya, adalah paparan yang kami jabarkan di point pertama.

Jika anda sudah terlanjur membeli produk itu, maka silahkan dikonsumsi atau dimanfaatkan. Hukumnya tetap halal alhamdulillah selama barangnya halal. Jika belum membeli, maka jangan membeli demi tercapainya tujuan dari boikot.

3. Putus dari hulunya.

Yang paling efektif adalah, memutus hulu dari masuknya produk itu ke negeri kita atau negeri-negeri kaum muslimin. Ini dibutuhkan kesadaran para pengusaha muslim yang memiliki peran di sini. Merekalah orang yang berpeluang menjadi yang terdepan dalam Jihad boikot ekonomi ini.

Wallahua’lam bis showab.

*Dikoreksi oleh guru kami : Ustadz Aris Munanda, M.P.I -hafidzohullah-.

Hamalatul Quran Jogjakarta, 21 Rabiul awal 1442 H


Ditulis oleh : Ahmad Anshori (Pengasuh Thehumairo)

Artikel : TheHumairo.com

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here