Heboh Tinta Cumi-Cumi Haram!
Bismillah…
Benar adanya bahwa ada ulama yang menilai bahwa tinta cumi-cumi hukumnya haram. Alasannya adalah, qiyas/analogi dengan darah. Keterangan ini tertulis di kitab Bughyah al-Mustarsyidin, karya Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi.
Namun, ada beberapa catatan terkait pendapat ini :
Pertama, pernyataan ulama bukanlah dalil.
Sebagaimana ungkapan para ulama,
كلام العالِم يُستدَلّ له ولا يُستدَلّ به
“Ucapan seorang ulama butuh pada dalil, bukan dalil.”
Karena saat seorang ulama melakukan ijtihad, kesimpulannya memiliki potensi keliru, tak selamanya pasti benar. Dalil bahwa ijtihad memiliki potensi keliru, adalah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
إِذَا اجْتَهَدَ الحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِنْ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Mujtahid yang berijtihad ketika ia tepat akan mendapatkan dua pahala. Saat ia salah maka ia berhak satu pahala. (HR. Bukhori & Muslim)
Cara menimbang apakah ijtihad seorang ulama telah benar atau keliru, dengan melihat dalil yang dijadikan pijakan, kemudian membandingkan dengan dalil lainnya, serta perkataan para ulama lainnya. Inilah yang disebut metode tarjih oleh para ulama.
Pendapat yang menyatakan tinta cumi-cumi haram, tidak tepat. Karena adanya cacat dari tiga sisi di atas :
- cacat dari segi dalil yang menggunakan qiyas tidak tepat.
- cacat dari segi komparasi dengan dalil lain, karena menyelisihi dalil yang tegas menyatakan halalnya tinta cumi-cumi.
- cacat dari segi komparasi dengan pernyataan para ulama lainnya, yang ternyata pendapat mayoritas ulama tidak senada dengan kesimpulan tersebut.
Dengan izin Allah, tiga catatan di atas akan kita jabarkan pada point berikutnya di bawah ini.
Kedua, Al-Qur’an tegas menerangkan kehalalan binatang laut.
أُحِلَّ لَكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَحۡرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعٗا لَّكُمۡ وَلِلسَّيَّارَةِۖ وَحُرِّمَ عَلَيۡكُمۡ صَيۡدُ ٱلۡبَرِّ مَا دُمۡتُمۡ حُرُمٗاۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِيٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ
Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan darat, selama kamu sedang ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (kembali). (QS. Al-Ma’idah: 96)
Jika binatang laut dihalalkan oleh Al-Qur’an, maka pada dasarnya segala yang ada pada tubuh binatang tersebut juga hukumnya halal. Karena ia adalah bagian daripada tubuh binatang tersebut. Termasuk darahnya, tintanya cumi-cumi dll. Kecuali, bila ada dalil yang memindahkannya dari hukum asal, mungkin menjadi haram atau makruh. Dalam hal tinta cumi-cumi, tidak ada dalil yang tepat dan tegas, memindahkannya kepada selain hukum asalnya. Sehingga yang benar, tinta cumi-cumi tetap dihukumi halal.
- Baca juga : Hukum Coklat Valentine
Ketiga, hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Air laut itu suci dan bangkai nya halal dimakan..“
Bangkai adalah salahsatu obyek hukum yang populer dihukumi haram oleh syari’at. Demikian juga darah. Kemudian ada dalil yang mengecualikan jenis bangkai tertentu sehingga menjadi halal. Yaitu yang disinggung oleh hadis di atas; bangkai binatang laut. Bila bangkai binatang yang lumrahnya dihukumi haram, di sini halal, maka demikian juga yang berlaku pada darah binatang, yang lumrahnya dihukumi haram, dalam hal ini juga dihukumi halal.
Keempat, argument dengan qiyas (analogi) dengan darah, untuk mengharamkan tinta cumi-cumi, adalah qiyas yang tidak tepat.
Alasan tidak tepatnya, karena qiyas tidak berlaku saat telah ada dalil dari Qur’an dan Hadits, yang menerangkan hukum suatu kasus/benda. Sebagaimana kaidah yang dirumuskan oleh para ulama dalam bab qiyas,
لا قياس مع وجود النص
“Tidak ada qiyas saat ada penjelasan hukum dari Quran dan Hadits (Nash).”
Dalam kasus hukum tinta cumi-cumi, hukum halalnya telah diterangkan oleh dalil Al-Qur’an dan Hadis shahih di atas. Sehingga kita tidak perlu beralih kepada qiyas, untuk menyingkap hukumnya.
Kita dahulukan nash daripada qiyas.
- Baca juga : Sunah Menutup Bejana di Malam Hari
Kelima, saat kita telah mengetahui, adanya dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang berbicara, maka sikap hikmah seorang muslim adalah, mendahulukan dalil daripada perkataan siapapun, sampai pun itu perkataan sekelas ulama.
Sebagaimana petuah sangat indah dari Imam Syafi’i rahimahullah,
أجمع النَّاس على أَن من استبانت لَهُ سنة رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم لم يكن لَهُ أَن يَدعهَا لقَوْل أحد.
“Seluruh umat manusia sepakat, bahwa siapa yang telah dijelaskan padanya sunah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya meninggalkan sunah tersebut karena pendapat orang, siapapun dia.”
Kesimpulannya, tinta cumi-cumi hukumnya halalan thoyyiba. Selamat menikmati. Walhamdulillah.
Wallahua’lam bis showab.
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Artikel : TheHumairo.com