Berani Sekali Melarang Jumatan yang Diwajibkan Allah?

Bismillah….

Belum lama ini penulis mendapat kiriman video tausiyah seorang penceramah yang menyayangkan peniadaan sholat Jumat di masjid di masa Pandemi, melalui pesan WA.

Jumat itu wajib. Yang mewajibkan Allah ta’ala..lha kok kemudian seng (yang) ngelarang (melarang) menungso (manusia).. Iki opo menungso mbek arep dipadakke Allah ta’ala (apa mau menyamakan manusia dengan Allah ta’ala)..Yang berhak melarang tidak sholat Jumat itu ya Allah dan Rasul-Nya..” tungkasnya.(https//youtu.be/Dixyb7mbAhw menit 12.40)

Berikut beberapa catatan terhadap pesan ceramah tersebut :

Pertama, benar bahwa menghadiri jumatan adalah kewajiban. Bahkan seluruh ulama sepakat tentang wajibnya jumatan. Namun perlu juga kita sadari, bahwa kewajiban dalam agama kita bukan hanya jumatan. Ada banyak kewajiban lain yang juga harus kita tunaikan. Saat sejumlah kewajiban bertumpuk, maka kita dahulukan yang lebih ditekankan daripada yang tidak, melalui timbangan kaidah agama (kaidah fikih/ushul atau dalil lain).

Jumatan memang wajib. Namun menjaga diri dari bahaya juga wajib, bahkan fardu ‘ain. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan melindungi diri dari bahaya adalah kewajiban yang diwajibkan Islam. Diantaranya,

وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ

Janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuatbaiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Baqarah, 195)

Saat bertumpuk kewajiban seperti ini, bagaimana kita memilih?

Jika memungkinkan kita lakukan semuanya kita lakukan semampunya. Jika tidak memungkinkan, makai kita pilih yang paling ditekankan, seperti kasus ini. Cara memilihnya melalui kaidah fikih berikut :

درء المفاسد أولى من جلب المصالح

dar-ul mafaasid aulas min jalbil mashoolih

“Mencegah bahaya, didahulukan daripada mendatangkan manfaat.”

(Al-mumti’ Fil Qawa’id Al Fiqhiyyah, hal. 253)

Menunaikan ibadah sholat Jumat adalah maslahat. Namun tersebarnya virus Corona COVID-19, adalah bahaya yang sangat besar. Sehingga dalam kondisi ini, tidak melaksanakan sholat Jum’at demi mencegah bahaya wabah virus Corona COVID-19 yang sudah dapat dipastikan keberadaan dan bahayanya, lebih didahulukan daripada maslahat berupa menunaikan ibadah Jumat.

Nah ini juga harus kita pertimbangkan. Karena agama ini sempurna, setiap ajarannya saling berkaitan. Kita tidak boleh hanya mengambil sebagian kemudian mengabaikan sebagian yang lain.

Kedua, minimal jangan sampai menyerupai orang Yahudi yang berprinsip seperti yang diceritakan dalam ayat ini,

أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah, 85).

Ketiga, yang melarang jumatan di masa wabah bukan kita, tapi juga syariat Allah.

Kaidah fikih yang disusun para ulama di atas, bahkan tergolong kaidah fikih yang diakui argumentatifnya oleh seluruh ulama, juga bagian dari syariat Allah yang harus kita taati. Juga bagian dari syi’ar Islam yang harus kita lestarikan dan amalkan.

Bukankah Al-Baqoroh 195 di atas tegas dan jelas melarang kita menjatuhkan diri pada bahaya?!

Nabi kita shallallahu’alaihi wasallam juga tegas melarang,

لا ضرر ولا ضرار

Tidak boleh berbuat bahaya kepada orang lain atau membahayakan diri” (HR. Ibnu Majah)

Di kesempatan lain, beliau juga berpesan,

فر من المجذوم فرارك من الأسد

Lari menjaulah dari penyakit kusta, sebagaimana anda lari dari singa.”
(HR. Bukhari dan Ahmad)

Jangan kita lupakan kawan, ayat dan hadis di atas juga bagian dari syariat Allah.

Dan larangan jumatan dan jama’ah di masjid di masa Pandemi, diambil dari ayat dan hadis-hadis ini saudaraku, waffaqokallah.

Bahkan Islam menempatkan menjaga nyawa pada salah satu dari lima pilar pokok hukum-hukumnya (ad-doruuriyah Al Khoms), bersama dengan menjaga agama, harta, nasab, kehormatan. Ini juga yang menjadi pertimbangan, bukan semata hawa nafsu atau malas-malasan ibadah.

Dan masih ada lagi bukti bahwa tidak jumatan dan jama’ah di masjid, juga bersumber dari Allah dan RasululNya.

Sudah pernah penulis bahas di sini : Tidak Shalat Jamaah Karena Takut Tertular Virus Corona

Keempat, bila memperhatikan ungkapan tersebut, tampak bahwa segala tindakan menutup masjid atau melarang ke masjid adalah tindakan dosa besar atau menantang Allah. Apapun alasannya, tak terkecuali.

Jika demikian cara berfikirnya, maka yang diperbuat Malik bin Dukhsum, Ma’an bin ‘Adi atau saudaranya Amir bin ‘Adi, dalam merobohkan masjid diror milik kaum munafik, juga tergolong menghalangi jumatan atau sholat jama’ah di masjid.

Kan rancu jadinya, masak menghancurkan masjid orang munafik atas perintah Rasulullah juga dikatakan menghalangi jumatan?!

Kenapa kita bisa menyimpulkan rancu?

Karena masjid itu dihancurkan atas perintah Rasulullah. Nah sama saat ini sementara waktu tidak jumatan dan jama’ah di masjid, juga atas perintah Rasulullah.

Jika komentar berupa tuduhan melarang jumatan kepada para sahabat yang menghancurkan masjid kaum munafik, gamblang sekali mengatakan rancu, sama juga mengomentari tidak Jumatan karena ada wabah sebagai bentuk melanggar kewajiban, juga rancu. Karena dua-duanya didasari perintah Rasulullah.

Wallahua’lam bis showab.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada kita semua.


Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here