Ralat Tulisan “Hukum Mengejar Layangan Putus”
Bismillah….
Pagi hari ba’da subuh (Kamis 15 Muharram 1442), kami mengobrol ringan seputar kurikulum pondok pesantren tercinta Hamalatul Quran Jogjakarta, bersama guru kami Ustadz Aris Munandar MPI -hafidzohullah-, di teras rumah beliau. Disela obrolan, kami berkonsultasi kepada beliau tentang satu artikel di website kami Thehumairo.com, yang terasa mengganjal di dalam hati. Yaitu tulisan tentang Hukum Mengejar Layangan Putus yang terbit beberapa pekan lalu.
Di tulisan tersebut kami sampaikan, bahwa layangan putus statusnya sebagai luqotoh (barang temuan). Sehingga bila diambil berlaku padanya hukum luqotoh, yaitu :
- Jika berharga, maka wajib diumumkan selama satu tahun.
- Jikatidak berharga maka boleh langsung diambil.
Kami tegaskan di tulisan tersebut, bahwa ukuran berharga tidaknya ada pada harganya, layangan yang mudah 2000 an misalnya, boleh langsung diambil. Layangan harga mahal, maka tidak boleh diambil kecuali jika bersedia mengumumkan selama satu tahun, jika tuannya tidak mengambil maka baru boleh dimiliki.
Penerapan hukum layangan putus kepada luqotoh inilah yang tampak mengganjal di hati kami. Alhamdulillah, setelah konsultasi dengan guru kami, kami mendapatkan pencerahan. Dan tentu ini karena taufik dari Allah ta’ala. Berikut kami sampaikan catatan obrolan kami dengan Ustadz Aris Munandar hafidzohullah, dengan kami tambahkan referensi dalil dan penjelasan ulama.
Sekaligus tulisan ini sebagai ralat tulisan kami kami Hukum Mengejar Layangan Putus.
Pertama, penerapan hukum layangan putus kepada luqotoh bisa tepat, jika dirinci sebagai berikut:
- Layangan putus yang diketahui pemiliknya, maka tidak bisa disebut luqotoh.
Karena luqotoh adalah barang temuan yang tidak diketahui tuannya. Sehingga mengambilnya, hukumnya haram kecuali atas kerelaan pemilik layangan.
Ada budaya di masyarakat, jika ada layangan putus maka layangan itu menjadi pemilik orang yang mengejar dan mendapatkan. Padahal bisa jadi pemilik layangan dia ketahui. Bahkan mungkin sampingan dengan dia. Ini tidak dibenarkan dalam Islam, kecuali dengan meminta kerelaan dari pemiliknya.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan keridhoannya.”
(HR. Abu Ya’la dan yang lainnya, dan telah ditashih oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 7662)
- Layangan putus yang tidak diketahui pemiliknya, inilah yang bisa dihukumi sebagai luqotoh.
Namun ada catatan sangat penting di sini :
Menghukumi layangan yang murah harganya sebagai luqotoh tidak berharga, sehingga boleh langsung diambil tanpa harus diumumkan, ini tidak tepat.
Karena berharga tidaknya luqotoh bukan dilihat dari nominal harganya. Tapi dari diabaikan oleh orang ataukah dicari/dikejar. Seorang berjalan lalu uangnya 200 perak jatuh. Umumnya nominal seperti itu diabaikan. Inilah luqotoh yang tidak berharga, yang boleh langsung diambil. Sebagaimana keterangan dari Syekh Abdul Karim Hudair (anggota ulama senior Kerajaan Saudi Arabia) tentang luqotoh tidak berharga yang boleh langsung diambil,
ما لا تلتفت إليه همة أوساط الناس
“Barang jatuh yang diabaikan oleh masyarakat.” (http://iswy.co/e14rov)
Kenyataannya, layangan yang putus jadi bahan kejaran pemilik dan masyarakat umumnya. Ini menunjukkan, layanan putus baikn harganya murah ataupun mahal, lebih tepat dihukumi sebagai luqotoh yang berharga. Sehingga silahkan diambil jika :
– Berkenan mengumumkan selama satu tahun. Setelah diumumkan selama rentang waktu tersebut pemiliknya tidak juga mengambil, baru menjadi hak milik orang yang menemukan.
– Tidak diketahui pemilik layangan.
Kedua, budaya yang ada di masyarakat, bahwa layangan putus menjadi milik orang yang mengejar, tidak bisa dipandang sebagai budaya (urf) yang diakui syariat.
Memang benar ada kaidah fikih berbunyi,
العادة محكمة
“Adat istiadat / budaya (urf), adalah pedoman menetapkan hukum syar’i, jika tidak ada penjelasan dari nash (Al-Qur’an dan hadits).”
Namun, tidak semua budaya itu masuk dalam kaidah di atas. Karena budaya / urf, ada dua macam :
1. Urf shahih (benar) : budaya yang tidak bertentangan dengan rambu-rambu syariat.
2. Urf fasid (rusak): budaya yang bertentangan dengan syariat.
Budaya yang dimaksud bisa menjadi acuan hukum, adalah urf shahih saja. Adapun urf fasid tidak. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam bahasan kaidah diatas, syarat berlakunya urf bisa menjadi dasar hukum,
أن لا يكون اعتباره مخالفا لنص شرعي
“Urf yang dijadikan pedoman hukum, tidak boleh menyelisihi dalil syar’i.” (Lihat : ‘Umum Al-Balwa Dirosah Nazoriyah Tatbiqiyah, hal. 394)
Layangan putus menjadi milik pengejarnya, ini tergolong urf yang fasid (rusak). Karena bertentangan dengan hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam :
لا يحل مال امرئ مسلم إلا بطيب نفس منه
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan keridhoannya.”
(HR. Abu Ya’la dan yang lainnya, dan telah ditashih oleh Albani dalam Shahih Al Jami’: 7662)
Budaya layangan putus milik pengejarnya, gambarannya sama dengan model transaksi gadai yang terlarang. Ada budaya di masyarakat, jika seorang punya hutang, kemudian ia menggadaikan barangnya sebagai jaminan, jika hutang jatuh tempo maka barang berapapun nilainya, walaupun itu lebih mahal dari hutang, otomatis menjadi milik orang yang dihutangi. Seperti ini sama saja merampas harta milik orang lain atas nama budaya. Sama halnya dengan kasus layangan putus milik pengejarnya, jika sudah putus maka otomatis berpindah kepemilikan kepada yang mendapatkan. Ini sama, merampas harta milik orang lain atas nama budaya.
Sebagai penutup, kami ucapkan terimakasih jazakumullah Khairan kepada guru kami Ustadz Aris Munandar MPI -hafidzohullah-, atas bimbingan dan masukannya. Semoga Allah membalas beliau dengan balasan terbaik di dunia dan akhirat.
Wallahua’lam bis showab.
Referensi :
– Faidah obrolan dengan Ustadz Aris Munandar MPI-hafidzohullah-.
– ‘Umum Al-Balwa Dirosah Nazoriyah Tatbiqiyah, karya : Muslim bin Muhammad bin Majid Ad-Dausari, penerbit : Maktabah Ar-Rusyd – Riyadh KSA.
– Penjelasan Syekh Abdul Karim Hudair tentang luqotoh.