Lagu Religi Benarkah Menjadikan Orang Religius?
Bismillahirrahmanirrahim…
Ujian bagi teman-teman yang sudah hijrah, sudah mulai tumbuh semangat ber-Islam, mudah bagi dia meninggalkan lagu-lagu dangdut, pop, rok dll, yang berbau syahwat. Lagu-lagu itu mudah ditinggalkan karena ia menyadari bahwa itu adalah dosa. Namun belum untuk satu jenis lagu, yaitu lagu religi atau disebut lagu islami. Karena masih menganggap ada kebaikan.
Apakah benar ada perbedaan hukum antara lagu religi dengan yang tidak?
Ayat dan hadis di bawah ini yang menjawabnya :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Lukman: 6)
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu saat menerangkan makna ayat ini beliau sampai bersumpah bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah nyanyian,
هو والله الغناء
“Demi Allah yang dimaksud oleh ayat ini adalah nyanyian!” (Tafsir Al-Baghowi)
Kami tambahkan dari ayat yang lain,
وَٱسۡتَفۡزِزۡ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتَ مِنۡهُم بِصَوۡتِكَ وَأَجۡلِبۡ عَلَيۡهِم بِخَيۡلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِ وَعِدۡهُمۡۚ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا
“Perdayakanlah siapa saja di antara mereka yang engkau (Iblis) sanggup dengan suaramu (yang memukau), kerahkanlah pasukanmu terhadap mereka, yang berkuda dan yang berjalan kaki, dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka.” Padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.” (QS. Al-Isra’ : 64)
Ayat ini menunjukkan bahwa nyanyian adalah tentara setan dalam upaya mereka menyebarkan maksiat di tengah manusia. Sebagaimana keterangan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma saat menafsirkan ayat di atas,
الغناءُ والمزاميرُ واللهو
“Yang dimaksud ayat ini adalah nyanyian, lagu atau ucapan dan tindakan sia-sia.”
- Baca juga : Hukum Konten YouTube / Sosmed Pamer Kekayaan
Penjelasan yang sama juga bersumber dari ahli tafsir yang lain, seperti Imam Mujahid dan Imam Ad-Dhohak.
Dari hadis Nabi shalallahu alaihi wa sallam, kami nukilkan hadis dari sahabat Abu Amir Al-‘Asy’ari, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda
ليكونن من أمتي أقوام، يستحلون الحر، والحرير، والخمر والمعازف.
“Akan ada di orang-orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutra bagi laki-laki, khamr (miras) dan alat musik.” (HR. Bukhori)
Musik, di sandingkan dengan dosa besar lainnya, yaitu zina dan meminum miras. Ini dalil bahwa :
– Musik juga tergolong dosa besar.
– Musik hukumnya haram meskipun itu dinamai musik religi atau islami. Karena jika musik menjadi boleh didengar karena ada embel-embel islami atau religi, ini bersekuensi dosa-dosa besar yang disebutkan satu paket dengan musik dalam hadis ini, buka bisa menjadi boleh, asalkan zina islami/religi atau mabuk islami/religi. Betapa sucinya Islam dari hal-hal seperti ini.
Juga dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة: مزمار عند نعمة، ورنة عند مصيبة
“Dua suara terlaknat di dunia dan akhirat : suara seruling di saat mendapat nikmat dan suara histeris di saat mendapat musibah.” (HR. Al-Bazzar, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani)
Ayat dan hadis di atas tegas menerangkan, bahwa musik adalah haram. Jika Al-Qur’an dan hadis yang berbicara, maka tidak bisa dibantah dengan perkataan siapapun, sekalipun itu ucapan ulama yang sangat dihormati. Kata para ulama,
كلام العالم يستدل له ولا يستدل به
“Ucapan ulama itu didalili, bukan dalil.”
Setelah kita mengetahui bahwa musik hukumnya haram, maka mendengarkannya tak akan mungkin menjadikan iman seorang bertambah. Karena maksiat adalah hama bagi iman atau keshalihan. Maksiat adalah, perusak iman. Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang menegaskan ini,
لا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Tidaklah seseorang itu berzina, ketika sedang berzina dia dalam keadaan beriman. Tidak pula seseorang itu minum khamer ketika sedang minum khamer ia dalam keadaan beriman. Dan tidak pula seseorang itu mencuri ketika sedang mencuri ia dalam keadaan mukmin.” (HR. Bukhori, no. 5150)
Hadis ini menunjukkan bahwa dosa dapat mengurangi iman seorang. Karena yang dimaksud tidak beriman, tidak sempurna imannya. Sebagaimana keterangan dari Imam Nawawi rahimahullah saat menjelaskan hadis ini,
فالقول الصحيح الذي قاله المحققون أن معناه لا يفعل هذه المعاصي وهو كامل الإيمان، وهذا من الألفاظ التي تطلق على نفي الشيء ويراد نفي كماله
“Penjelasan yang benar adalah yang dijelaskan oleh para muhaqqiq, bahwa makna hadis ini adalah, seorang tidaklah melakukan maksiat-maksiat tersebut dalam kondisi imannya sempurna. Lafad-lafad hadis yang seperti ini maksudnya meniadakan sesuatu tapi yang dimaksud adalah peniadaan kesempurnaan.” (Kami nukil dari kitab : Al-Ibanah karya Ibnu Battoh, hal. 119, penerbit : Dar Ar-Royah, Riyadh 1415 H / 1994 M)
Demikianlah keyakinan ahlussunah wal jama’ah, bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dengan amal shalih dan berkurang dengan sebab maksiat.
- Baca juga : Bersegera Menghapus Dosa dengan Amal Kebaikan
Jika maksiat adalah noda bagi iman, dan musik adalah salahsatu maksiat, mungkinkah musik akan menjadikan seorang lebih shalih?! Meningkat imannya?! Menjadi sosok yang benar-benar religius bukan hanya di penampilan, tapi lahir dan batin, saat di hadapan orang ataupun saat sendirian?!
Tentu tidak!!
Memilih musik sebagai jalan untuk meraih religius atau keshalihan, adalah pilihan yang keliru. Apapun itu namanya, musik islami, musik religius, maksiat tetaplah maksiat. Apakah dosa menjadi boleh saat ditambah kata religi atau islami? Tentu tidak. Jika iya nanti ada korupsi yang boleh karena korupsinya religius, judi jadi boleh karena judinya religius, nanti dosa-dosa menjadi boleh karena alasan religi!! Na’udzubillah min dzalik.
Sahabat Abu Darda’ radhiyallahu’anhu memberi kita nasehat,
من فقه العبد أن يتعاهد إيمانه وما نقص منه، ومن فقه العبد أن يعلم أيزداد هو أم ينقص
“Tanda fakihnya (cerdasnya) seorang adalah, ia senantiasa memperhatikan imannya dan segala hal yang dapat menguranginya, serta mengetahui kondisi imannya, apakah sedang bertambah atau berkurang.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori)
Wallahul muwaffiq.
Hamalatul Quran Jogjakarta, 27 Rajab 1442 H
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Artikel : TheHumairo.com