CATATAN NGAJI QOWAIDUL ARBA’ (#5)
Matan
وأن يجعلك ممن إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر
Semoga Allah menjadikanmu termasuk orang-orang yang bila diberi nikmat bersyukur, bila diuji bersabar, dan jika berbuat dosa beristighfar. Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.
Penjelasan
Seseorang yang bisa mengamalkan ketiga hal ini, yakni : Syukur saat mendapat nikmat, sabar saat mendapat musibah, dan taubat saat jatuh dalam dosa, maka ia akan merasakan kebahagiaan.
- Ketika mendapat nikmat, dia bahagia dengan syukurnya.
- Ketika mendapat ujian, bahagia dengan sabarnya.
- Ketika mendapat dosa / bermaksiat, bahagia dengan taubatnya.
Ulama menjelaskan :
الصبرُ مثل اسمه، مرٌ مذاقته، لكن عواقبه أحلى من العسل.
Sabar itu seperti namanya, rasanya pahit. Namun buahnya lebih manis dari madu.
Diantara secuil manisnya buah dari sabar adalah, dijelaskan dalam hadis ini,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَكُوْنُ لَهُ عِنْدَ اللهِ الْمَنْزِلَةُ، فَمَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ، فَمَا يَزَالُ اللهُ يَبْتَلِيْهِ بِمَا يَكْرَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ إِيَّاهَا
Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allâh, namun tidak ada satu amal yang bisa mengantarkannya ke sana. Maka Allâh senantiasa mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya, sehingga dia bisa sampai pada kedudukannya itu. (HR. Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)
Keadaan Manusia Ketika Mendapat Musibah di Dunia
Ada empat macam sikap orang dalam menghadapi musibah :
Pertama, Mutasakhkhithun (Orang yang murka / tidak ridho)
Sikap seperti ini dilarang. Ia termasuk ke dalam dosa besar. Orang yang seperti ini sudah jatuh tertimpa tangga pula. Musibah yang sedang menimpanya, sudah menyempitkan, lebih sempit lagi rasa murkanya kepada takdir Allah, itu lebih menyakitkan. Sehingga dengan sikapnya itu, dia menadapt musibah yang berlapis-lapis. Karena ia akan mendapatkan tambahan musibah, yakni musibah terbesar (murka Allah).
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah no. 4031, hasan kata Syaikh Al Albani).
Ketidakridhaan ini bisa dengan 3 cara :
[1] Dengan Hati.
Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata (yang maknanya) :
“ Sesungguhnya sebagian manusia tidak tega untuk mengatakan ketidak ridhaannya dengan lisan. Akan tetapi, jiwanya menyaksikan atas ketidak ridhaannya yakni dengan berburuk sangka kepada Allah ta’ala. Ia mengatakan dalam hatinya ‘Rabbku menzhalimiku’, ‘Rabbku mengharamkanku dari nikmat itu’, ‘Rabbku menahanku dari nikmat itu’, dan perkataan yang semisalnya.”
Mengapa tidak tega mengatakan dengan lisan?
Karena jiwa manusia ketika berbuat salah sebenarnya tahu kalau ia berbuat salah. Jiwa akan tidak tenang. Dalilnya ialah:
بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ 14 وَلَوْ أَلْقَىٰ مَعَاذِيرَهُ 15
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah 14-15)
Maka sebenarnya orang yang mengatakan bahwa celana cingkrang itu teroris, musik itu halal dengan alasan pendapat Ibnu Hazm, dan yang semisalnya pasti hatinya tidak tenang.
Orang yang mengatakan musik halal itu menyelisihi apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف
”Sungguh akan ada sebagian dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat-alat musik.” (HR. Bukhari, no. 5590)
Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma mengatakan,
“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari langit. Aku katakan, ‘Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian.’ “(Shohih. HR. Ahmad).
[2] Dengan Lisan.
Seseorang mengatakan perkataan yang kasar, melaknat, mencaci maki dan lain sebagainya.
[3] Dengan Anggota Badan.
Seseorang yang mencakar-cakar wajahnya, mengoyak-oyak bajunya, dam menjambak rambutnya.
Kedua, Shabirun (bersabar)
Sabar secara bahasa al-habsu, berarti menahan. Dijelaskan dalam Tafsir fil Qornil Awal Al- Hijri (Hal. 355),
أَصل الصَّبْر الحَبْس وكل من حَبَس شيئًا فقد صَبَرَه
“Makna dari kata sabar adalah menahan. Segala hal tindakan menahan disebut sabar.”
Hukum bersabar adalah wajib, dalilnya ialah ijma’ (kesepakatan) ulama. Oleh karena itu, seseorang haruslah mampu bersabar dengan hatinya, lisannya, dan juga anggota badannya.
Imam Ahmad bin Hambal berkata:
“Sabar di dalam al-quran disebutkan sekitar 90-an ayat, dan sabar itu wajib berdasarkan ijma’. Sabar ini merupakan sebagian iman. Hal ini karena iman dibagi menjadi 2: syukur dan sabar” (Madarijus Salikin karya Ibnul Qayyim)
Ketiga, Radhin (ridho kepada takdir Allah)
Hukum ridha terhadap musibah adalah mustahab/ sunnah. Ini merupakan tingkatan di atas sabar. Karena ridho itu tidak sekedar senyum di wajah, akan tetapi juga senyum di hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).
Keempat, Syakir (bersyukur).
Hukum syukur terhadap musibah adalah mustahab/ sunnah. Ini merupakan tingkatan yang paling afdhal dan sempurna. Diantara keutamaan syukur ketika tertimpa musibah ialah dijelaskan dalam hadis yang mulia berikut ini…
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِى. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ. فَيَقُولُونَ نَعَمْ. فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِى فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ. فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِى بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
“Apabila anak seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada malaikat-Nya, “Kalian telah mencabut nyawa anak hamba-Ku?” Mereka berkata, “Benar.” Allah berfirman, “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?” Mereka menjawab, “Benar.” Allah berfirman, “Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku saat itu?” Mereka berkata, “Ia memujimu dan mengucapkan istirja’ (innaa lilaahi wa innaa ilaihi raaji’uun).” Allah berfirman, “Bangunkan untuk hamba-Ku di surga, dan namai ia dengan nama baitul hamdi (rumah pujian).” (HR. Tirmidzi, no. 1021; Ahmad, 4: 415. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Demikian…
Wallahua’lam bis showab.
Referensi :
- Madarijus Salikin, Ibnul Qoyyim.
- Tafsir fil Qornil Awal Al- Hijri, Tesis yang ditulis oleh Fa-iqoh Ar Rais Abdullah, Pasca Sarjana Univ. Ummul Quro, Makkah.
- Kitab Syarah Ushul Tsalatsah dan Qowaidul Arba’, karya Syaikh Haitsam bin Muhammad Jamil Sarhan.
- Faedah Kajian “Qawaidul Arba’ “, bersama Ustadz Ahmad Anshori,Lc hafizhahullahu ta’ala.
Dirangkum oleh Akhunal Fadhil : Andhika bin Qasim
Pengkoreksi dan editor : Ahmad Anshori
Artikel : TheHumairo.com