Baca pembahasan sebelumnya: Empat Ekspresi Orang Saat Mendapat Musibah

Bismillah…

CATATAN NGAJI QOWAIDUL ARBA’ (#6)

Pendahuluan Empat Kaedah Dalam Bertauhid

اِعْلَمْ أَرْشَدَكَ اللهُ لِطَاعَتِهِ؛ أَنَّ الْحَنِيفِيَّةَ مِلَّةُ إِبْرَاهِيمَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ، وَبِذَلِكَ أَمَرَ اللهُ جَمِيعَ النَّاسِ، وَخَلَقَهُم لَهَا؛ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إلاَّ لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذريات:56]. فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ اللهَ خَلَقَكَ لِعِبَادَتِهِ؛ فَاعْلَمْ أَنَّ الْعِبَادَةَ لا تُسَمَّى عِبَادَةً إِلا مَعَ التَّوْحِيدِ، كَمَا أَنَّ الصَّلاةَ لا تُسَمَّى صَلَاةً إِلا مَعَ الطَّهَارَةِ. فَإِذَا دَخَلَ الشِّرْكُ فِي الْعِبَادَةِ فَسَدَتْ؛ كَالْحَدَثِ إِذَا دَخَلَ فِي الطَّهَاَرِةِ. فَإِذَا عَرَفْتَ أَنَّ الشِّرْكَ إِذَا خَالَطَ الْعِبَادَةَ أَفْسَدَهَا، وَأَحْبَطَ الْعَمَلَ، وَصَارَ صَاحِبُهُ، مِنَ الْخَالِدِينَ فِي النَّارِ؛ عَرَفْتَ أَنَّ أَهَمَّ مَا عَلَيْكَ مَعْرِفَةُ ذَلِكَ؛ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يُخَلِّصَكَ مِنْ هَذِهِ الشَّبَكَةِ، وَهِيَ الشِّرْكُ بِاللهِ، الَّذِي قَالَ الله تَعَالَى فِيهِ: { إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء} [النساء:116]. وَذَلِكَ بِمَعْرِفَةِ أَرْبَعِ قَوَاعِدَ ذَكَرَهَا اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ

“Ketahuilah, -semoga Allah menunjukkanmu kepada ketaatan- : Sesungguhnya al-Hanifiyah adalah Milah Ibrahim, yakni Engkau beribadah kepada Allah semata dengan ikhlasl[1] memurnikan ibadah kepada-Nya. Dengan itulah Allah memerintahkan kepada seluruh manusia dan menciptakannya untuk tujuan tersebut. Sebagaimana yang Allah firmankan:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ

‘Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku’. (QS. Adz Dzariyat: 56). 

Baca Juga: Pahala Membangun Masjid

Apabila Engkau mengetahui bahwa Allah menciptakanmu untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidak disebut dengan ibadah kecuali disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidak disebut dengan shalat kecuali disertai dengan thaharah. 

Maka apabila syirik masuk ke dalam ibadah, syirik tersebut akan merusaknya, sebagaimana hadats ketika masuk ke dalam thaharah.

Apabila Engkau mengetahui bahwa apabila syirik mencampuri ibadah, ia akan merusaknya, penghancur amalan, dan membuat pelakunya kekal di dalam neraka, ketahuilah! Bahwa hal yang paling penting untuk Engkau ketahui adalah perkara tersebut.

Semoga Allah mengikhlaskanmu dari jaring ini, yakni syirik kepada Allah. Sebagaimana yang Allah firmankan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya..” (QS. An Nisa: 48)

Dan untuk mengetahui perkara syirik tersebut ialah dengan mempelajari 4 kaedah yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya.

Penjelasan

Penulis ingin menjelaskan kepada kita, mengapa kita harus mempelajari tauhid? Alasannya adalah :

  • Tauhid adalah tujuan jin dan manusia diciptakan. Misi pokok mereka berada di bumi adalah, untuk mengesakan Allah ta’ala dalam ibadah.
  • Karena syirik; lawan dari Tauhid, adalah penghancur pahala amal ibadah. Seorang beramal bertahun-tahun lamanya, dan sebanyak apapun, akan hancur pahalanya menjadi tidak bernilai, jika seorang melakukan kesyirikan.
  • Syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah, jika dibawa mati.

Baca Juga: Kemunculan Dajjal dan Pentingnya Ngaji Tauhid

Pengertian Ikhlas

Ikhlas(الاخلاص) berasal dari kata خلص yang berarti murni atau bersih. Dalilnya :

وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً ۖ نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih / murni, yang keluar di antara tai dan darah, minuman yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (An-Nahl: 66)

Pengertian Ibadah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala,

الْعِبَادَة هِيَ اسْم جَامع لكل مَا يُحِبهُ الله ويرضاه من الْأَقْوَال والأعمال الْبَاطِنَة وَالظَّاهِرَة.

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup semua yang Allah cintai dan Allah ridhai, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang lahir (tampak) maupun yang batin (tidak tampak, tidak bisa dilihat).” (Al-‘Ubudiyyah, hal. 44)

Dua Macam Ibadah

Pertama, Ibadah mahdhah (العبادت المحضة)

Adalah ibadah yang murni ibadah, ditunjukkan oleh tiga ciri berikut ini:

  1.  Ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah sejak asal penetapannya dari dalil syariat. Artinya, perkataan atau ucapan tersebut tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan dalil-dalil yang menunjukkan terlarangnya ditujukan kepada selain Allah Ta’ala, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.
  2.  Ibadah mahdhah juga ditunjukkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
  3.  Ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, tidak ada jalan yang lainnya, termasuk melalui akal atau budaya.

Contoh sederhana ibadah mahdhah :

Adalah shalat. Shalat adalah ibadah mahdhah karena memang ada perintah (dalil) khusus dari syariat. Sehingga sejak awal mulanya, shalat adalah aktivitas yang diperintahkan (ciri yang pertama). Orang mengerjakan shalat, pastilah berharap pahala akhirat (ciri ke dua). Ciri ketiga, ibadah shalat tidaklah mungkin kita ketahui selain melalui jalur wahyu. Rincian berapa kali shalat, kapan saja, berapa raka’at, gerakan, bacaan, dan seterusnya, hanya bisa kita ketahui melalui penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan hasil dari kreativitas dan olah pikiran kita sendiri.

Kedua, Ibadah ghairu mahdhah (العبادت غير المحضة)

Ibadah yang tidak murni ibadah memiliki pengertian yang berkebalikan dari tiga ciri di atas. Sehingga ibadah ghairu mahdhah dicirikan dengan:

  1. Ibadah (perkataan atau perbuatan) tersebut pada asalnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, berubah status menjadi ibadah karena melihat dan menimbang niat pelakunya.
  2. Maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk meraih pahala di akhirat.
  3. Amal perbuatan tersebut bisa diketahui dan dikenal meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.

Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah:

Adalah aktivitas makan. Makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang bebas mau makan kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan dengan menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang makan karena lapar, atau hanya sekedar ingin mencicipi makanan. Akan tetapi, aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan agar memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk shalat atau berjalan menuju masjid. Ini adalah ciri pertama.

Berdasarkan ciri kedua, kita pun mengetahui bahwa maksud pokok ketika orang makan adalah untuk memenuhi kebutuhan pokok (primer) dalam hidupnya, sehingga dia bisa menjaga keberlangsungan hidupnya. Selain itu, manusia tidak membutuhkan wahyu untuk bisa mengetahui pentingnya makan dalam hidup ini, ini ciri yang ketiga. Tanpa wahyu, orang sudah mencari makan.

***

Referensi :

– Kitab Syarah Ushul Tsalatsah dan Qowaidul Arba’, karya Syaikh Haitsam bin Muhammad Jamil Sarhan.

– Faedah Kajian Qawaidul Arba’ bersama : Ust Ahmad Anshori, Lc hafizhahullahu ta’ala

-Terjemah Kitab : Al-Qawa’id Al-Arba’ penerbit Media Tarbiyah

– https ://muslim.or.id/46004-perbedaan-antara-ibadah-mahdhah-dan-ibadah-ghairu-mahdhah-bag-1.html


Dirangkum oleh Akhunal Fadhil : Andhika bin Qasim

Editor : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here