Bismillah…
Memilih pasangan hidup, bukan hanya soal kesenangan syahwat sesaat. Namun, lebih dari itu, yaitu menyiapkan calon ayah atau ibu terbaik, untuk Sang buah hati. Lebih dari sekedar memilih teman atau sahabat. Oleh karenanya, sangat wajar jika seorang menentukan standar-standar tertentu dalam mencari belahan hatinya. Demi terwujudnya cita-cita memiliki anak yang sholih/sholihah.
Manhaj maksudnya, metode beragama.
Tentang nikah beda manhaj misalnya, Islam sebenarnya, telah memaklumi hal ini. Namun masih ada saja yang menggaungkan standar yang seperti ini, amat tabu.
Baik, mari kita simak paparan berikut, yang menerangkan bahwa menikahi pasangan hidup yang se-manhaj, adalah suatu yang dimaklumi dalam Islam :
Pertama, Islam memotivasi memilih calon pasangan yang baik agamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ المَرْأَةُ لأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ ، تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya, pilihlah pemilik agama niscaya kamu beruntung.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis yang lain, beliau juga mengarahkan,
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ
“Jika ada yang datang kepada kalian mau meminang, seseorang yang kalian meridhoi agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, kalau tidak maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas”. (HR. Tirmidzi, Dihasankan oleh Albani dalam Shahih Tirmidzi)
Baiknya agama seseorang, dipilih oleh Nabi sebagai standar utama dalam memilih pasangan. Dan baiknya manhaj seorang dalam beragama, adalah indikasi yang paling menonjol menunjukkan baiknya kualitas agama seseorang.
Manhaj yang menjadi standar adalah, metode beragama sesuai pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Kedua, tujuan menikah adalah mencari kebahagiaan.
Allah yang menjelaskan tujuan ini,
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ
Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum : 21)
Menikah dengan pasangan yang se-manhaj, sebenarnya adalah tentang se-iya se-kata atau se-prinsip. Tentu setiap orang muslim berhak menentukan calon pasangan hidupnya yang satu prinsip dengannya. Terutama dalam hal prinsip beragama. Karena semua berhak mendapatkan bahagia dari bahtera rumah tangganya. Jika prinsip hidup saja sudah berbeda, bagaimana cita-cita itu bisa diraih?
Semua orang berhak untuk bahagia dalam pernikahannya.
Ketiga, belajar dari pengalaman orang.
Imran bin Hitton, dahulu seorang Ahlussunah yang taat. Namun berbalik 360 derajat setelah ia mempersunting wanita cantik berakidah Khawarij. Sebelum menikahinya, Imran berencana mendidik wanita itu agar menjadi Ahlussunah. Namun, justeru Imran yang terpengaruh dengan pemikiran istrinya. (Lihat : Siyar A’lam An-Nubala’ 4/214)
Puncak dari kesesatan Imran bin Hitton adalah, saat dia memberikan dukungan kepada pembunuh Khalifah sekaligus Ahlu bait dan menantu Nabi shallallahu’alaihi wasallam : Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Sampai Imran menyusun Syair yang sangat terkenal, sebagai pujian kepada Sang Pembunuh Sahabat Ali, Abdurrahman bin Muljim :
يا ضربة من تقي ما أراد بها
إلا ليبلغ من ذي العرش رضوانا
إني لأذكره حينا فأحسبه
أوفى البرية عند الله ميزانا
أكرم بقوم بطون الطير قبرهم
لم يخلطوا دينهم بغيا وعدوانا
“Duhai Sang Penebas leher orang bertakwa.
Tak ada yang diinginkan dari perbuatannya melainkan ridho Tuhan Penguasa Arsy.
Akan kukenang ia sebagai orang yang paling berat timbangan kebaikannya di sisi Allah.
Betapa mulia sebuah kaum yang perut burung-burung menjadi kuburnya.
Agamanya tidak tercampur dengan kezaliman dan permusuhan.”
Keempat, arahan ulama.
Pasangan kita adalah teman hidup kita. Orang yang akan paling banyak berinteraksi dengan kita. Sehingga pengaruhnya dalam mewarnai jati diri kita, sangat dominan. Hal ini yang mendorong para ulama memberi arahan untuk berhati-hati bersahabat dengan orang-orang yang menyimpang.
Sahabat Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma- pernah menasehati,
لا تجالس أهل الأهواء ؛ فإن مجالستهم ممرضة للقلب
Jangan bersahabat dengan pengikut hawa nafsu dalam beragama. Karena berusahat dengan mereka adalah penyakit bagi hati. (Lihat : Tafsir At-Tobari 4/328)
Nasehat Imam Abu Qilabah rahimahullah,
لا تجالسوا أهل الأهواء ولا تحادثوهم ؛ فإني لا آمن أن يغمروكم في ضلالتهم ، أو يلبسوا عليكم ما كنتم تعرفون
Jangan bersahabat dengan pengikut hawa nafsu dalam beragama. Jangan berbicara dengan mereka. Sungguh aku tidak bisa menjamin kalian aman dari pengaruh kesesatan mereka. Atau mereka akan berkamuflase memasukkan pemikiran sesatnya, melalui hal-hal yang sudah kalian ketahui. (Lihat : Siyar A’lam An-Nubala’ 4/372)
Lebih khusus lagi dalam kitab Al-Mudawwanah (1/84) terdapat keterangan,
لا ينكح أهل البدع ؛ ولا ينكح إليهم
Jangan menikah dengan ahlu bid’ah. Jangan nikahkan putri anda kepada mereka.
Olehkarenanya, seluruh Imam empat mazhab; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, telah menetapkan bahwa kesamaan kualitas agama anatara pasangan (Al-Kafaa-ah fid Din), adalah salah satu standard yang sah. Laki-laki fasik, tak sepadan dengan wanita muslimah yang taat beragama. Karena Allah yang mengatakan,
أَفَمَن كَانَ مُؤۡمِنٗا كَمَن كَانَ فَاسِقٗاۚ لَّا يَسۡتَوُۥنَ
Maka apakah orang yang beriman sama seperti orang yang fasik? Tentu tidak sama. (QS. As-Sajdah, 18)
Dan kebid’ahan atau penyimpangan dalam ber-manhaj, adalah diantara bentuk kefasikan yang paling nyata.
Maksud dari kesamaan kualitas agama anatara pasangan (Al-Kafaa-ah fid Din),
adalah suatu standard yang sah dalam pernikahan adalah, jika kedua mempelai sudah terlanjur menikah, kemudian salah satunya baru tampak kefasikan itu setelah terjadi akad nikah, maka salah satunya berhak mengajukan cerai. Kecuali jika keduanya telah sama-sama rela, maka akad nikah tetap berlaku.
Kelima, standar ganda.
Nikah dengan yang se-manhaj, sebenarnya bukan suatu yang baru. Namun mengapa ada yang orang bersikap geram, di saat teman-teman kita yang komitmen dengan manhaj salaf, menjadikan kesamaan manhaj sebagai standar memilih pasangan? Padahal mungkin perilaku seperti ini juga ada pada diri mereka, dan juga kelompok-kelompok lain?
Mari kita simak tulisan menarik dari Ustadz Fadlan Fahamsyah berikut :
Keluarga NU nolak menantu “wahhabi” = wajar
Akhwat liqo’ Pks dilarang murabbiahnya nikah dg ikhwan HTI = wajar
Akhwat salafy menolak ikhwan non salafy = dianggap ta’ashub.
kyai Nu melarang santrinya belajar ke guru “wahhabi” = wajar
Murabbi PKS melarang muridnya ngaji ke salafi = wajar
Ustadz takfiri melarang muridnya ngaji ke salafi= wajar
Ustadz salafi melarang jama’ahnya ngaji ke non salafi= dianggap merasa benar sendiri.
Ohhhh….jadi gitu ya… kalau yang lain wajar.
(Dikutip dari akun Facebook beliau)
Demikian, semoga bermanfaat sebagai pertimbangan sebelum melangkah kepada lembaran hidup yang baru.
Wallahua’lam bis showab.
Baca Juga: Jangan Malu Ditanya Menikah
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Artikel : TheHumairo.com