Doa Agar Dihindarkan Dari Banjir

Bismillahirrahmanirrahim

Kota Madinah pernah mengalami kekeringan. Hujan lama tak membasahi kota suci itu. Di saat Nabi shallallahu’alaihi wasallam berkhutbah Jumat, seorang Arab Badui berdiri menyampaikan permohonan kepada Nabi, agar didoakan segera turun hujan. Nabi shalallahu alaihi wa sallam lantas berdoa meminta hujan.

Tak selang lama dari doa yang Nabi shalallahu alaihi wa sallam panjatkan, hujan turun dengan derasnya. Dan berlangsung sampai ke Jumat berikutnya. Terjadi banjir di penjuru Madinah. Akses jalan terputus dan binatang ternak banyak yang mati terendam. Kejadian itu mendorong si Arab Badui yang meminta didoakan turun hujan pada Jumat pekan lalu, berdiri kembali di saat Nabi berkhutbah Jumat pekan berikutnya, meminta didoakan agar hujan berhenti.

يا رسولَ الله، هلكت الأموال، وانقطعت السبل، فادعُ الله أن يُمسكها

“Ya Rasulullah, harta benda pada rusak, jalan-jalan terputus. Mohon didoakan kepada Allah, agar Allah memberhentikan hujan ini.” Pinta si Arab Badui itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengiyakan, lalu mengangkat kedua tangan beliau seraya berdoa,

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

ALLAHUMMA KHAWAALAINA LAA ‘ALAINA, ALLAHUMMA ‘ALAL AAKAAM WAD DHOROOB, WA BUTUUNIL AUDAWIYAH, WA MANAABITIS SYAJAR

Ya Allah (turunkan) di sekitar kami dan tidak menjadi bencana bagi kami. Ya Allah mohon alihkan hujan ini ke gunung-gunung, perbukitan / dataran tinggi, lembah-lembah, kebun atau hutan – hutan.”

Kisah ini nyata terjadi dan shahih riwayatnya, terekam dalam Shahih Bukhori no. 1014. Diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu.

Doa di atas bisa kita amalkan para pembaca sekalian, di saat curah hujan di wilayah kita sangat tinggi, hujan berhari – hari tak reda.

Penjelasan Doa

“Ya Allah (turunkan) di sekitar kami”

Maksudnya, di dekat daerah kami, bukan di wilayah kami.

“tidak menjadi bencana bagi kami.”

Bukan pada daerah kami yang penduduknya khawatir hujan lebat menimbulkan bencana.

“gunung-gunung”

Karena di wilayah ini air dapat tersimpan di tanah. Kemudian akan menyebar dan menyuplai air untuk tempat-tempat yang lebih rendah.

“perbukitan / dataran tinggi.”

Karen sering terjadi kekeringan.

“lembah-lembah,”

Karena lembah adalah penyimpan air. Sehingga air dapat dimanfaatkan oleh manusia dan hewan, dalam jangka yang lama.

“kebun atau hutan.”

(Lihat : Fathul Bari, 2/505)

Pelajaran dari Doa

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menerangkan beberapa hikmah dari doa di atas :

وفيه الأدب في الدعاء حيث لم يدع برفع المطر مطلقا لاحتمال الاحتياج إلى استمراره فاحترز فيه بما يقتضي رفع الضرر وبقاء النفع ، ويستنبط منه أن من أنعم الله عليه بنعمة لا ينبغي له أن يتسخطها لعارض يعرض فيها ، بل يسأل الله رفع ذلك العارض وإبقاء النعمة . وفيه أن الدعاء برفع الضرر لا ينافي التوكل وإن كان مقام الأفضل التفويض في هذا نظر . والصواب أن الأخذ بالأسباب والبدار بالدعاء والاستغاثة عند الحاجة أولى وأفضل من التفويض،

“Di dalam doa ini terkandung adab dalam berdoa, dimana Nabi shallallahu’alaihissalam tidak meminta kepada Allah agar hujan dihentikan total. Karena adanya kemungkinan keberlangsungan hujan dibutuhkan. Maka yang Nabi pinta adalah, mencegah bahaya bersamaan dengan tetap adanya manfaat.

Dari doa ini juga dapat disimpulkan bahwa, siapa yang mendapat nikmat dari Allah, tidak sepatutnya membenci nikmat itu karena ada hal yang tidak disenangi. Hendaknya meminta kepada Allah untuk mengangkat hal yang tidak disenangi tersebut kemudian meminta kepada Allah agar nikmat tetap langgeng.

Doa ini juga memberi pelajaran, bahwa berdoa supaya dihindarkan dari mara bahaya, tidak membatalkan tawakkal. Pendapat yang menyatakan bahwa pasrah saat mendapat musibah lebih afdol daripada meminta dihindarkan musibah, adalah pendapat yang lemah. Yang benar adalah, mengupayakan sebab, bersegera berdoa dan meminta dilindungi dari mara bahaya di saat dibutuhkan, itulah yang lebih utama daripada berserah diri.” (Fathul Bari, 2/507)

Wallahul muwaffiq.

Referensi :

  • Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhori, karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani As-Syafi’i, penerbit : Darul Ma’rifah – Beirut, th. 1379 H.

Hamalatul Quran Jogjakarta,  16 Jumada Tsani 1442 H


Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

Baca juga : 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here