Lagi Pada Bicara Takwil, Sebenarnya Apa Sih Takwil?
Bismillah…
Semenjak viralnya video podcast dua tokoh dai nasional, yang mengangkat tema-tema sensitif seputar asma dan sifat Allah, istilah takwil mulai banyak dibicarakan di jagat maya maupun nyata. Metode memahami ayat-ayat tentang sifat Allah ini, menjadi jargon bagi kelompok keyakinan Ahlul Kalam, seperti Jahmiyah, Asya’iroh dan Maturudiyyah.
Sebenarnya apa sih takwil itu?
Secara bahasa, takwil adalah :
ترجيع الشيء إلى الغاية المرادة منه
“Mengembalikan makna sebuah redaksi, pada puncak makna yang dimaksud dalam redaksi tersebut.”
Adapun menurut istilah hampir sama dengan makna secara bahasa, yaitu
رد الكلام إلى الغاية المرادة منه، بشرح معناه، أو حصول مقتضاه
“Mengembalikan makna dari sebuah kalam (ucapan atau teks), kepada puncak makna yang dimaksud dalam kalam tersebut. Bisa dengan menjelaskan maknanya atau terwujudnya isi pesannya.”
Kemudian, istilah takwil ini seringkali digunakan untuk menyebut tiga hal berikut :
Pertama, tafsir.
Sebagaimana termaktub dalam ayat,
نَبِّئۡنَا بِتَأۡوِيلِهِ
Mohon dikabarkan kepada kami takwil mimpi itu. (QS. Yusuf: 36)
Maksudnya adalah, tafsir mimpi.
Contoh lain adalah yang tersebut dalam doa Nabi shalallahu alaihi wasallam untuk sepupu beliau; Abdullah bin Abbas.
اللهم فقهه في الدين، وعلمه التأويل
Ya Allah, fahamkan ia agama ini dan ajarkan kepadanya Takwil Al-Qur’an.
Maksudnya adalah tafsir ayat-ayat Al-Qur’an.
Abdullah bin Abbas sendiri pernah mengatakan, saat menjelaskan tafsir ayat 7 surat Ali Imran,
أنا من الراسخين في العلم الذين يعلمون تأويله
“Saya diantara yang kokoh ilmunya (rosikh fil Ilmi) yang mengetahui takwilnya.”
Maksudnya, mengetahui tafsirannya.
Kemudian juga ungkapan yang sering digunakan oleh Imam Ibnu Jarir At-thobari dan ulama tafsir lainnya dalam kitab-kitab mereka,
تأويل قوله تعالى…..
“Takwil dari firman Allah ini adalah….”
Maksudnya, tafsir.
Pemaknaan takwil dengan tafsir ini, sangat populer digunakan di kalangan para ulama.
- Baca juga : Apa yang Dimaksud Dukhon Tanda Kiamat
Kedua, hakikat dari sebuah redaksi.
Jika berupa redaksi kabar, maka takwilnya adalah makna hakikat dari yang dikabarkan.
Seperti Allah melalui Al Qur’an maupun sabda Rasul-Nya, mengabarkan sifat-sifatNya. Maka makna redaksi kabar tersebut adalah, makna hakikat dari sifat yang dikabarkan. Sifat Ar-‘Uluw (maha tinggi) misalnya, maka cara memahami yang benar ketika membaca ayat tentang sifat ini, kita pahami sesuai hakikatnya. Hakikatnya ya di atas, kebalikan di bawah. Allah maha tinggi sesuai keagungan dan kemuliaanNya.
Jika berupa redaksi perintah atau larangan, maka takwilnya adalah terlaksananya perintah atau terjauhinya larangan.
Contoh yang redaksi berita :
Surat Al-A’raf ayat 53
هَلۡ يَنظُرُونَ إِلَّا تَأۡوِيلَهُۥۚ
Tidaklah mereka menanti-nanti, kecuali takwil dari kabar hari kebangkitan itu.
Maksudnya, orang-orang kafir itu hanya menanti tibanya hakikat kabar yang dikabarkan, yaitu tibanya hari kebangkitan.
Surat Yusuf ayat 100
وَرَفَعَ أَبَوَيۡهِ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ وَخَرُّواْ لَهُۥ سُجَّدٗاۖ وَقَالَ يَٰٓأَبَتِ هَٰذَا تَأۡوِيلُ رُءۡيَٰيَ مِن قَبۡلُ قَدۡ جَعَلَهَا رَبِّي حَقّٗاۖ
Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf). Dan dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan.
Contoh yang redaksi perintah atau larangan :
Kisah dari Aisyah radhillahu anha,
كان النبي صلى الله عليه وسلم يكثر أن يقول في ركوعه وسجوده : سبحانك اللهم ربنا وبحمدك ، اللهم اغفر لي ، يتأول القرآن
“Nabi sallallahu alaihi wa sallam seringkali waktu rukuk dan sujud membaca doa :
سبحانك ربنا وبحمدك اللهم اغفر لنا
Subhanakallahumma Robbana wabihandika Allahummaghfirlii
“Maha suci Engkau Tuhan Kami dengan pujian kepada-Mu. Ya Allah ampunilah kami.”
Dalam rangka mentakwil Al-Qur’an.”
Maksud mentakwil Al-Qur’an di hadis di atas adalah, melaksanakan perintah Al-Qur’an, yaitu firman Allah ta’ala :
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ * وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا * فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (QS. An-Nasr: 1-3)
Dua pemaknaan takwil di atas, adalah pemaknaan yang populer digunakan dalam Al-Qur’an, Hadis dan pernyataan para ulama salaf (klasik).
Ketiga, memalingkan makna sebuah teks, dari makna dekat ke makna yang jauh, berdasarkan dalil.
Penggunaan istilah takwil dengan makna ini, banyak digunakan oleh ulama akhir-akhir (muta-akhirin), dari kalangan ulama fikih dan ushul fikih.
Demikian juga sering digunakan oleh sebagian saat berbicara tentang ayat-ayat sifat Allah, mereka mentakwil sifat-sifat tersebut, kepada makna yang jauh.
Sebenarnya boleh atau tidak memahami ayat-ayat dengan takwil seperti ini?
Ada dua macam takwil model ini :
1. Mahmud / terpuji.
2. Mazmum / tercela.
Terpuji jika berdasarkan dalil yang shahih. Takwil yang seperti ini sebenarnya adalah tafsir. Karena makna tafsir adalah, memaknai sebuah ungkapan dengan makna yang dimaksud oleh pengucapnya, baik itu makna dekat (dzahir) atau makna jauh. Sehingga boleh saja memaknai ungkapan dengan makna jauh, jika ada indikasi yang menunjukkan, pengucapannya memaksudkan makna jauh tersebut. Indikasi inilah yang disebut dalil.
Contohnya ayat berikut,
أَتَىٰٓ أَمۡرُ ٱللَّهِ فَلَا تَسۡتَعۡجِلُوهُۚ سُبۡحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ
Ketetapan Allah telah datang, maka jangan kalian tergesa-gesa minta datangnya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (QS. An-Nahl : 1)
Pada ayat di atas Allah mengancam dengan suatu perkara yang seakan sudah tiba. Karena Allah mengabarkan dengan kata kerja lampau (fi’il madhi) أَتَىٰٓ, yang terjemahnya “telah tiba”.
Namun makna ini tidak dimaksud. Dalilnya adalah kalimat ayat selanjutnya,
فَلَا تَسۡتَعۡجِلُوهُۚ
Jangan kalian tergesa-gesa minta (datang)nya.
Adanya larangan meminta tergesa kedatangan ancaman tersebut, dalil bahwa yang diancamankan belum tiba. Sehingga makna yang tepat untuk ayat di atas adalah,
Ketetapan Allah pasti datang, maka jangan kalian tergesa-gesa minta datangnya. Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.
Contoh lainnya,
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
Maka apabila engkau telah membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
(QS. An-Nahl : 98)
Namun makna ayat ini bukan perintah membaca ta’awudz setelah membaca Al-Qur’an. Karena akan hilang hikmah dari membaca ta’awudz yaitu berlindung dari godaan setan saat membaca Al Qur’an. Pemaknaan yang benar, ayat di atas berisi perintah membaca ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an, walaupun perintah diungkapkan dengan kata lampau. Dalilnya adalah perbuatan Nabi shalallahu alaihi wa sallam yang selalu membaca ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an.
Kemudian takwil tercela jika tidak didasari dalil yang shahih atau bahkan tidak berdalil.
Takwil yang seperti ini sebenarnya bukan takwil. Lebih pantasnya disebut tahrif (penyelewengan makna dalil).
Contohnya adalah pemaknaan yang populer terhadap ayat tentang istiwa’,
ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ
Allah Tuhan yang Maha Pengasih, bersemayam di atas ‘Arsy. (QS. Tha-Ha: 5)
Makna dekat (dzahir) yang terkandung dalam ayat ini, Allah beristiwa : Allah ada di atas Arsy dengan sifat di atas atau tinggi yang sesuai dengan keagunganNya. Inikah pemaknaan yang tepat.
Adapun memaknai istiwa’ dengan istaula : menguasai, adalah bentuk takwil yang tercela. Lebih tepatnya tahrif, karena tidak berdasar dalil yang shahih.
Wallahul muwaffiq.
Referensi :
- Taqrib At-Tadmuriyyah, karya Syekh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah.
Diselesaikan di Ponpes Hamalatul Quran Yogyakarta, 16 Dzulhijjah 1441 H
Ditulis oleh : Ahmad Anshori
Artikel : TheHumairo.com