Bismillah

Sholat ghaib adalah amalan yang disyariatkan berdasarkan hadis shahih yang tertulis dalam Shahih Bukhori dan Shahih Muslim, tentang kisah Nabi shallallahu’alaihi wasallam mensholati jenazah raja Najasi yang berada di negeri Nasrani.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Bukhori)

Kemudian, keberlakuan hadis tersebut umum, tidak hanya khusus untuk Nabi, namun untuk semua umat Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana kesimpulan fikih ini dipegang oleh mayoritas ahli fikih (jumhur). Bersebrangan dengan pendapat yang dipilih oleh Mazhab Hanafi dan Maliki.

Baca juga : Hukum Qunut Nazilah Untuk Wabah Corona

Yang menjadi diskusi di kalangan mayoritas ahli fikih adalah, tentang kriteria jenazah yang boleh dishalatkan ghaib :

Pendapat pertama, shalat ghaib berlaku untuk semua jenazah yang tidak hadir di tengah-tengah kita (ghaib).

Pendapat ini dipegang oleh para ulama mazhab Syafi’i dan Hambali.

Pendapat kedua, shalat ghaib hanya untuk orang yang telah berjasa banyak kepada kaum muslimin. Seperti ulama, mujahid, tokoh muslim, pemimpin atau orang kaya yang hartanya banyak didermakan untuk Islam.

Pendapat ini adalah salahsatu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, dan dinilai kuat oleh Syekh Abdurrahman As-Sa’di dan Lajnah Da-iman KSA.

Pendapat ketiga, shalat ghaib hanya diperuntukkan untuk jenazah muslim yang tidak ada seorangpun yang mensholatkan.

Salahsatu riwayat dari Imam Ahmad menisbatkan pendapat ini kepada beliau. Dipandang kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta murid beliau; Ibnul Qayyim. Ulama akhir ini yang condong pada pendapat ini adalah Syekh Ibnu ‘Utsaimin.

(Ketiga pendapat ini kami kutip dari situs ilmiah asuhan Syekh Sholih Al Munajjid : https://islamqa.info/amp/ar/answers/35853)

Baca juga : Pesan dari Corona

Dari tiga pendapat fikih di atas; wallahua’lam, pendapat yang paling kuat (rajih) adalah pendapat ketiga.

Alasannya adalah sebagai berikut :

[1] hukum asal syariat ini berlaku umum untuk Rasulullah dan seluruh umatnya, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan pengkhususan atau pengecualian.

Dalam hal shalat ghaib, tak ada satupun hadis shahih dan tegas yang menerangkan shalat ini hanya berlaku khusus untuk Nabi shallallahu’alaihi wasallam.

Hal ini berdasarkan keterangan dari Imam Nawawi berikut,

مذهبنا جواز الصلاة على الغائب عن البلد ، ومنعها أبو حنيفة . دليلنا حديث النجاشي وهو صحيح لا مطعن فيه وليس لهم عنه جواب صحيح

Mazhab fikih kami berpandangan shalat ghaib disyariatkan untuk jenazah yang tidak hadir di tempat kita. Imam Abu Hanifah melarang shalat ghaib. Dalil kami adalah hadis tentang kisah raja Najasi. Hadis ini statusnya shahih, tidak ada kecacatan. Dan mereka yang berpendapat shalat ghaib berlaku untuk Nabi saja, tidak memiliki sanggahan yang benar. (Lihat : Al-Majmu’ 5/211, dikutip secara ringkas)

[2] di zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam banyak sahabat Nabi yang meninggal dunia. Namun tak ada riwayat yang menerangkan bahwa Nabi mensholati mereka yang meninggal tidak di Madinah, dengan shalat ghaib.

Satu-satunya hadis shahih yang mengisahkan shalat ghaib Nabi, adalah hadis shalat ghaib beliau untuk Raja Najasi. Kondisi jenazah Raja Najasi ketika itu, tak ada satupun orang yang mensholati jenazah beliau. Karena meninggal di negeri Nasrani.

[3] hukum sholat jenazah adalah fardhu kifayah. Maka bila telah ada yang mensholatkan, walau hanya satu orang, kewajiban ini telah gugur.

Baca juga : Bantahan : Kami Tidak Takut Corona,Kami Hanya Takut Kepada Allah

Berdasarkan kesimpulan ini, maka terkait mensholati jenazah korban virus corona, boleh kita shalati ghaib apabila:

belum ada yang mensholati.

Mungkin karena khawatir tertular virus.

Sehingga bila sudah ada yang mensholati, tidak perlu lagi dilakukan shalat ghaib. Penilaian ini cukup berdasarkan pada praduga kuat (dzan).
Bila telah ada kabar, bahwa mayit sudah disholati walau oleh seorang petugas medis, maka tidak perlu perlu lagi dilakukan shalat ghoib. Karena kewajiban telah gugur dan tercukupi.

Kita bisa berbakti kebaikan kepada mayit melalui sarana bakti lain. Seperti mendoakan di waktu mustajab, menghajikan / mengumrahkan mayit, bersedekah atas nama mayit, wakaf jariyah atas nama mayit dll.

Wallahua’lam bis showab.

Referensi :

Kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhazdzab, karya Imam Nawawi, terbitan Maktabah Al-Irsyad, Jeddah – Saudi Arabia.

– situs ilmiyah : islamqa.info

Hamalatul Quran Yogyakarta, 9 Sya’ban 1441 H


Ditulis oleh : Ahmad Anshori

Artikel : TheHumairo.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here